Selasa, 08 Februari 2011

Ama Rotua Sihombing berkata

Komentar Anda sedang menunggu moderasi.
Horas, terimakasih yg membuat blog ini krn mgkn jutaan orang akan membacanya. Sudah banyak terjadi bahwa satu marga dapat timbul atau terjadi dari marga lain, maaf kl dpt saya sebut marga induk. Bilamana marga2 yg muncul tsb tidak MENGAKUI fakta2 sejarah, maka itu terserah kepada yg bersangkutan. Kita semua konsisten mengakui marga kita sendiri bukanlah krn Internet. Mohon maaf se-besar2nya jg kami haturkan bila tulisan saya ini membuat orang sebagian tersinggung, tp paling tidak kami hanya memberitakan apa yg kami ketahui wl baru sedikit dari apa yg telah dikatakan kakek kami turun temurun. Bilamana tulisan ini tdk berkenan pada saudara2ku mohon anggap saja angin lalu. Pada hakekatnya tidak ada maksud2 tertentu apapun bentuknya sbg tujuan tulisan ini.
1. Pada prinsipnya di kalangan marga Sihombing Lumbantoruan Borsak Sirumonggur tidaklah benar memintaminta Girsang agar bagian dari Sihombing.
2. Marga Sihombing sudah besar dan banyak jumlahnya, tapi kami masih perlu untuk mencari bilamana ada dari Silsilah yg masih hilang dan jelas keberadannya.
3. Marga Sihombing akan TETAP MENGHARGAI dan MENGAKUI keberadaan marga GIRSANG sebagai suatu kenyataan.
4. Bagi sebahagian GIRSANG baik yg dari LEHU, SIMALUNGUN, KARO yg mengakui marga induk dari Lumbantoruan diharapkan tetap mempertahankan eksistensinya dan kami berdoa pada Tuhan YME tetap diberkahi hamoraon, hagabeon, hasangapon.
5. Untuk siapa saja yang ingin mengetahui TONA (Pesan) kakek kami turun temurun mengenai Girsang maka dengan sangat berbahagia dapat kami memberikannya TANPA pretensi apa2.
Semoga marga Girsang selalu diberkati Allah dimanapun berada menjadi marga yang besar.
Horas..mauliate…botima


Ama Rotua Sihombing berkata

Komentar Anda sedang menunggu moderasi.
DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT SE-HARI2 ANTARA MARGA LUMBANTORUAN DAN GIRSANG.
Saya mencoba memaparkan hubungan marga Girsang dan Lumbantoruan di Pematang Siantar dlm kehidupan se-hari2 yang nyata di Pematang Siantar.
Setiap marga Girsang yg bertemu dengan Lumbantoruan pada saat kesempatan dimana pun baik secara formil maupun informil selalu saling hormat menghormati dengan baik. Kami dari marga Lumbantoruan selalu berhati-hati dan menunggu duluan agar mereka lebih duluan bertutur sapa, karena kami mengerti dan mengetahui bahwa TIDAK SEMUA marga Girsang itu ada hubungan dengan kami.
Bilamana mereka Girsang itu telah memberitahukan siapa mereka, umpama dari Lehu dan Silimakuta yg ada hubungan sejarah dengan RUSA maka barulah kami berani berkomunikasi lebih lanjut.
Sudah menjadi bagian sejarah marga2 Batak bahwa setiap marga itu mempunyai asalusul atau silsilah masing2. Memang orang Batak ini sungguh unik diantara suku2 di Indonesia dimana Silsilah itu amat penting, pada hal kegunaannya belum tentu ada di setiap event.
Lumbantoruan prinsipnya berpendapat dan mengerti bahwa tidak semua Girsang bermula dari Lumbantoruan
karena fakta2 sejarah memang demikian. (Salah satu dapat dilihat dari buku sejarah Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia oleh Prof. Slamet Mulyana).
Suatu marga baru yg muncul atau lahir dari marga lama adalah sesuatu yg banyak terjadi di marga2 Batak dan itu diakui menjadi kenyataan dan keberadaannya diakui dan tidak dipersoalkan apalagi pada jaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia . Itu merupakan kekayaan khazanah marga2 Batak yg menunjukkan Hagabeon Hasangapon dan Hamoraon.
Di Pematang Siantar hubungan Girsang dan Lumbantoruan sangat baik dan akur yg saling hormat menhormati dan mengakui eksistensi marga itu sendiri yg menjadi kenyataan dlm bermasyarakat. Dimana sekarang adalah tabu saling kawin mengawini ( Kalaupun ada sangat jarang terdengar dan mungkin pada saat itu belum mengerti tentang hubugan Girsang dan Lumbantoruan).
Saya sendiri begitu banyak mengenal saudara2ku Girsang di Siantar tidak langsung berani berkata hita adong do hubungan kekeluargaan, kecuali kalau sudah pernah memberitahu tarombonya. Jadi bukan masalah men-dekat2kan diri atau ada vested interested. Molo adong ulaon paradatan di Sihombing sai di jouhon do parjambaran tu Girsang, bukanlah mengada-ada tapi menghormati,sedangkan marga2 lain digorahon.
Diantara marga Girsang sudah banyak jadi orang BESAR, KAYA, TERHORMAT, MARPANGKAT, PANDAI dll, kami berdoa agar menjadi marga NAMORA, NAGABE,NASANGAP kedepan, dan menjaga kesatuan dan persatuan.
Kalaupun ada perbedaan persepsi tentang asal usul atau tarombo, terutama pada generasi muda, mari itu kita jadikan sebagai kekayaan budaya untuk lebih mempersatukan Girsang.
Akhir kata mari kita saling menjaga kerukunan dan kerhormatan kita masing2 marga Sihombing Lubantoruan dan Girsang.
” Legan do bulung jior, angur do bulung ni bane2, denggan do parhata tigor lobi dear do siboan DAME”
Horas….Ama Rotua Sihombing Jln Pergaulan 20 Pem. Siantar HP 08126497400



Ama Rotua Sihombing berkata

Komentar Anda sedang menunggu moderasi.
KISAH TRAGIS MENUJU KESUKSESAN – HAGABEON.
Pendahuluan. Kepada Saudaraku Sevilla 99, mohon maaf kalau kisah ini saya tulis dalam blog ini dan utk itu izinkan saya menulis suatu kisah tragis jaman kakek moyangku yg benar2 terjadi dan kenyataan pada waktu Generasi ke 7 dari silsilah Batak yg umum diketahui.
Kisah ini TIDAK BERMAKSUD membuka luka lama dan tidak ada perasaan DENDAM atau BENCI. Permasalahan yg sempat berlarut-larut dan bertahun-tahun malah ber-abad2 telah diselesaikan dengan baik yg dimulai oleh Ds DR Tunggul Sihombing Ephorus HKBP sekitar tahun 1961 yg kemudian berlanjut dengan pembuatan Tugu Girsang di LEHU dan di SITAPPRUNG-NAGASARIBU Siborongborong, maka segala permasalahan telah SELESAI dengan AMAN dan DAMAI.
Saya sendiri dari pihak yang dirugikan dengan kejadian tragis itu berpendapat bahwa itu adalah ciptaan dan jalan Allah untuk membuat HAGABEON di antara marga Sihombing Lumbantoruan.
Mengapa saya harus menulis dalam blog ini??? Karena ditengah marga Sihombing Lumbantoruan kisah ini sudah diketahui secara umum dan bukan hal yang baru. Perlu diketahui sejarah perkembangan marga2 Batak tidak terlepas dari zaman dulu sering terjadi peperangan antar huta dan perslisihan inter marga2.
Si JUARA DAN GURU PENCAK SILAT ( GURU MOCCAK)
Suatu ketika di negeri Siborongborong di huta SITAPPURUNG-NAGASARIBU pada abad ke XV hidup suatu keluarga yang aman damai dari Pomparan ni Raja Hariara Lumbantoruan bernama PARHUDATAR dengan Anaknya yang sulung si Girsang. Parhudatar beserta anak2nya adalah seorang yang baik budi yang hidup rukun damai dengan abangnya Namorapujion dan keluarga Lumbantoruan yg lain.
Girsang sendiri adalah ahli-guru pencak silat yg mashur terkenal disegani di daerah Humbang pada zamannya. Ia kawin dengan Boru Sianturi dari SISAKKAE Paranginan dan berketurunan.
Dia mempunyai PARIBAN atau adik istrinya dan iparnya yg tinggal di Paranginan.
Samapi sekarang di desa SITAPPURUNG arena latihan pencak silat tsb masih ada dan menurut berita rumputpun tak bisa hidup disana.
Didaerah Lintongnihuta hidup keluarga abang si Hariara bernama TUAN GURU SINOMBA dari keturunan Hutagurgur-Raungnabolon-DATU GALAPANG. Semua keluarga Lumbantoruan ini selalu hidup rukun damai dan selalu bahu membahu menghadapi setiap persoalan dan tantangan yg terjadi pada masa itu.
Suatu ketika anak Tuan Guru Sinomba bernama Guru TINOTOHAN ada bermasalah dengan pariban si Girsang tadi dan iparnya Sianturi menyaksikan kejadian tersebut sehingga ia membunuh ipar tsbt. Barang tentu pihak Sianturi tidak berterima, maka sewaktu Girsang mengunjungi mertuanya maka diberitahukanlah kejadian itu. Dengan amarah dan dendam MERTUA-nya meminta Girsang untuk membunuh saudara anak bapatuanya itu. Mertua berkata harus TUBOL yaitu nyawa dibayar nyawa.
Girsang sendiri menolak dengan keras perintah itu dengan menyatakan bahwa Guru Tinotohan itu adalah ABANG atau anak Bapatuanya. Ia berusaha mencari jalan penyelesaian yg lain tetapi Mertuanya menghina dan menghujat si Girsang bahwa tidak benar IA hebat, disegani, juara pencak silat, sakti dll.
Maka dengan berat hati dan bersedih (karena dihina, tdk diakui mertuanya) berucap:” MOLO NA GABE ON DO MAMBAHEN AHU MUNSAT SIAN HUTA ON ” ( Kalau ini yang membuat saya berangkat dari huta ini ) inama dalanhu laho tu nadao. Maka si Girsang dengan temannya hela Sianturi yag lain bermarga Nababan membunuh dan memenggal kepala Guru Tinotohan lalu membawa bukti tersebut lalu MELARIKAN DIRI bersama Si Nababan tadi. Karena pada waktu itu kabar tersebut segera tersiar di tengah keluarga Lumbantoruan yg segera pula dicari-cari oleh saudara2nya maka Girsang menghilangkan identitasnya kalau ada yg bertanya siapa dan dari mana dia.
Sesudah jaman kemerdekaan dan datangnya keKERISTENAN maka kejadian tragis tersebut dimaknai bahwa: Jalan Tuhan itu tidak dapat diketahui dan itu sebagai jalan Girsang dan para keturunannya mendapatkan HAGABEON-HAMORAON-HASANGAPON. Sebelum perdamaian terjadi maka keturunan Parhudatar yg lain yang tinggal di Humbang selalu dikucilkan di masyarakat Sihombing Lumbantoruan dan selalu menderita di
Hagabeon tetapi sekarang sudah mulai bangkit.
Perjalanan Girsang dan Nababan dalam pelarian mereka mungkin dapat ditulis/diceritrakan pada waktu yang lain.
Penulis berharap dan berdoa semoga tidak ada yang merasa dilecehkan atau tersinggung dengan tulisan ini, mudah2an generasi Sihombing Lumbantoruan dan Girsang dapat saling menghargai dan saling hormat menghormati dimanapun berada. Penulis juga sadar bahwa Girsang itu tidak sepenuhnya semua
yang BER-ASAL dari kisah ini, karena memang banyak fakta2 sejarah yang mengarah kesana dalam diaspora marga2 Batak di tanah Simalungun dan kedatangan Ekspedisi Pamalayu jilid II oleh Indrawarman pendiri Kerajaan Hindu SILO di Sumatra Timur.
Akhir kata ” pir ma pokki bahul2 pansalongan, pir ma tondi ni Sihombing Lumbantoruan dohot Girsang sai tongtong ma dipasu-pasu TUHAN “. ” napuran tano-tano rangging marsiranggongan, badan ta padao-dao sai tongtong ma tondinta masigomgoman”
HORAS…BOTIMA….Sekian dan terima kasih…..
Pem.Siantar 8 Pebruari 2011 Ama Rotua Sihombing.


Asal Usul Orang Batak

Jauh beratus tahun dahulu sekitar abad keenam orang-orang India Selatan dan India Tengah telah diusir keluar oleh penakluk berbangsa Aryan yang gagah perkasa. Mereka berhijrah melintasi Gunung Himalaya ke Burma dan kemudiannya turun ke Semenanjung Tanah Melayu dan akhirnya setelah melintasi Selat Melaka mereka mendirikan perkampungan di sekitar Batang Pane, Daerah Labuhan Batu. Kerajaan mereka dinamakan Munda Holing yaitu Kerajaan Keling dari Munda.

Kerajaan ini berkembang dengan jayanya sehingga dapat meluaskan tanah jajahannya ke seluruh tepian pantai Selat Melaka hingga ke Singgora/ Patani. Mereka telah mendirikan sebuah candi yang sangat indah dan besar yang kini dinamakan Candi Portibi. Kerajaan ini juga dikenali sebagai Kerajaan Portibi.

Di abad kesembilan, kerajaan yang telah masyur ini mendapat perhatian Kerajaan India Selatan. Perluasan empayarnya telah membimbangkan Maharaja Rajenderasola dari India Selatan. Akhirnya Maharaja Rajenderasola telah menyerang Kerajaan Portibi pada awal abad kesembilan.

Alkisah, mengikut ceritanya sewaktu Maharaja Rajenderasola menyerang Kerajaan Portibi itu Baginda telah ditentang oleh seorang putera Munda Holing bernama Raja Odap-Odap. Peperangan yang berlarutan itu memakan masa lebih kurang tujuh tahun sehinggalah Maharaja Rajenderasola beroleh kemenangan. Raja Odap-Odap yang tewas telah berkelana di Padang Lawas tanpa tentu arah tujuannya.

Alkisah, kisah kerajaan Portibi pula semasa berlaku peperangan dengan Maharaja Rajenderasola, bertunangan kepada Raja Odap-Odap bernama Boru Deakparujar telah mendapat pesan supaya segera meninggalkan Kerajaan Portibi lantaran Dewata Raya sudah tidak lagi menyebelahi mereka. Lalu Puteri Deakparujar itu pun mengumpulkan pengikutnya serta menggenggam tanah Portibi dan berangkatlah menuju matahari naik. Mereka terpaksa mendaki sebuah gunung yang tinggi yang dinamakan oleh mereka Dolok Malea seperti nama Himalaya yang telah dilintasi oleh nenek moyang mereka di abad yang keenam.

Akhirnya setelah menuruni Dolok Malea mereka telah sampai di satu kawasan yang baik tetapi dikelilingi oleh bukit bakau. Mereka lalu mendirikan perkampungan yang baru untuk orang-orang Munda Holing tersebut. Perkampungan tersebut dipanggil Pidoli yang kini terbahagi kepada Pidoli Dolok dan Pidoli Lombang. Puteri Deakparujar diangkat memerintah Kerajaan Mandala Holing yaitu kawasan orang-orang Keling.
Kerajaan ini telah tegak dengan jayanya dan sekali lagi berkembang maju. Pedagang2 dari luar berdatangan dan singgah dan berniaga di negeri tersebut hingga ianya termasyur ke mana mana.

Tersebut pula akan kisah pertunangan Boru Deakparujar yang telah berkelana di Padang Lawas, akhirnya Raja Odap-Odap pun sampailah di Pidoli yang diperintah oleh Boru Deakparujar. Dalam keadaannya cumpang camping itu tidak seorang pun anak negeri yang kenal akan raja mereka tersebut. Lagipun  waktu perpisahan yang begitu lama selama tujuh belas tahun tentulah masing-masing sudah berubah. Raja Odap-Odap pun dibawa masuk menghadap Puteri Deakparujar untuk mendapatkan pekerjaan bagi meneruskan hidupnya. Adat dahulu kala apabila rakyat mengadap raja, ianya hendaklah merangkak kehadapan singgahsana lalu sujud di kaki raja tersebut. Keadaannya yang cumpang camping dengan pakaian kulit binatang yang masih belum dibuang ekornya itu mmberikan gambaran yang Raja Odap-Odap itu keadaannya seperti cicak yang merangkak. Maka itu hingga ke hari ini di setiap rumah adat orang-orang Batak akan kelihatan gambar cicak sebagai simbol pertemuan Raja Odap-Odap dengan tunangannya Boru Deakparujar di Pidoli.

Raja Odap-Odap diambil bekerja di kandang kuda Puteri Deakparujar kerana kecekapannya memelihara kuda. Pada suatu hari Puteri Deakparujar telah dihadiahkan seekor kuda jantan yang sangat garang hingga tiada sesiapapun yang dapat menjinakkannya sedangkan Puteri tersebut kepingin untuk menunggangnya.Setelah banyak gembala kuda mencuba untuk menjinakkannya tetapi semuanya gagal juga. Maka pada suatu hari Raja Odap-Odap pun diminta oleh Tuan Puteri supaya menjinakkan kuda tersebut.

Bagitu Raja Odap-Odap menghampiri kuda tersebut ianya menundukkan kepalanya setelah diusap-usap kepalanya. Raja Odap-Odap pun menunggang kuda tersebut dengan baiknya. Semua yang hadir kehairanan dan tercengang-cengang.

Memandangkan Raja Odap-Odap telah berjaya menjinakkan kuda liar tersebut Puteri Deakparujar pun sangat gembira lalu dipersalinkannya Raja Odap-Odap dengan pakaian yang baik-baik setelah selesai disintuk, berlangir dan mandai. Begitu siap dipersalinkan maka dibawalah mengadap Tuan Puteri. Alangkah terkejutnya Tuan Puteri apabila melihat wajah Raja Odap-Odap yang mirip wajah tunangannya. Hampir sahaja Tuan Puteri pengsan jika tidak cepat disambut oleh dayang-dayangnya.

Mengikut adat hamba tidak dibenarkan menatap wajah raja maka keadaan tersebut tidak diketahui oleh Raja Odap-Odap, hinggalah Tuan Puteri memintanya mengangkat mukanya menatap wajah Baginda. Kedua-duanya amat terperanjat dan terpinga-pinga kerana tidak disangka mereka akan bertemu dalam keadaan sedemikian rupa. Apabila kedua-duanya telah kenal antara satu sama lain lalu bertangisanlah mereka. Gemparlah seluruh istana di Pidoli menyatakan bahawa gembala kuda raja itu sebenarnya adalah putera Munda Holing yang hilang sekian lama.

Keaadaan sedih menjadi gembira, lalu kedua anak raja itu pun dikahwinkan dengan acara yang paling meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Kedua-duanya pun memeintahlah Kerajaan Mandala Holing di Pidoli tersebut. Namun begitu barang yang telah ditetapkan oleh Puteri Deakparujar tidak pernah dihalang oleh Raja Odap-Odap, begitulah hormatnya baginda akan tuan puteri yang merupakan tuan rumahnya.

ASAL BATAK
Keturunan keenam dari Boru Deakparujar dan Raja Odap-Odap, salah satu darinya bernama Datu Dandana Debata. Dia adalah seorang yang banyak saktinya dan menjadi Datu/Pawang di istana raja pada masa itu. Anaknya adalah keturunan ketujuh dari Boru Deakparujar bernama RAJA BATAK. Beliau juga seperti ayahnya sangat handal dan tinggi ilmu batinnya.

Oleh kerana masyarakat Mandala Holing berasal dari India yang mengamalkan sistem kasta maka itu keturunan raja adalah dilarang bercampur darahnya dengan darah hamba. Pantangan ini sangat keras pada masa itu.
Ditakdirkan oleh Dewata Raya, ketua bagi segala hatoban iaitu Datu Ompung Dolom yang duduk di Sopo Godang tetapi tidak boleh bersuara kecuali menerima kerja, mempunyai seorang puteri yang sangat jelita.
Walaupun telah ditegah tetapi Raja Batak tetap dengan pendiriannya untuk menggauli anak Datu Ompung Dolom tersebut, hinggakan mengandung. Apabila berita tersebut diketahui oleh Raja maka perintah menangkap Raja Batak pun dikeluarkan. Namaun begitu tidak ada seorang pun yang dapat menangkap Raja Batak yang sakti itu, malah ramailah panglima yang terkorban di dalam usaha mereka untuk menangkap Raja Batak tersebut.
Setelah habislah ikhtiar untuk menangkap Raja Batak maka Datu Dandana Debata pun dipanggil raja untuk mencuci arang di muka. Apabila raja bersungguh-sungguh meminta supaya Raja Batak dibuang maka sembah Datu Dandana Debata kepada Baginda:
"Ampun tuanku beribu-ribu ampun, sembah patik mohon diampun, akan Raja Batak itu tidak akan ada sesiapapun yang boleh membunuhnya. Telah patik turunkan segala ilmu dan muslihat peperangan kepadanya. Lagipun tidak boleh kita menitiskan darah raja di tano handur, tano malambut, tano lulambu jati, tano padang bakkil Mandailing, tano si ogung-ogung. Sian i ma dalan tu ginjang, partuatan ni omputa, Debata na tolu suhut, na tolu sulu, na opat harajaon, tu banua tonga on......"

Raja pun terdiam, lalu berjanji tidak akan membunuh Raja Batak atau menitiskan darahnya. Setelah menerima pengakuan bahawa anaknya tidak akan dibunuh atau dicederakan maka Datu Dandana Debata pun menyuruh orang membuat jala tiga warna iaitu warna putih, merah dan hitam yang menjadi warna adat dan keramat sehingga hari ini. Apabila jala tiga warna itu siap Datu Dandana Debata pun naik ke atas bumbung rumah anaknya lalu diminta orang memanggil Raja Batak keluar bermain senjata di halaman rumah. Begitu Raja Batak keluar ke halaman rumah ayahnya pun menebarkan jala tiga warna lalu terperangkaplah Raja Batak dan gugurlah segala kesaktiannya.
Sejak itulah maka semua Bagas Godang/ Istana Raja di Mandailing dilentik naik hujung atap rumahnya, agar tidak ada orang yang boleh menebarkan jala dari atas bumbungnya.

SUMPAHAN KE ATAS RAJA BATAK
Apabila Raja Batak dihadapkan di dalam sidang adat maka ia telah dihukum buang daerah bersama seluruh keturunan Datu Ompung Dolom. Pada hari tersebut lalu disebutlah:

"Hee....kamu Siraja Batak nyah/ pergilah kamu dari Tanah Mandailing ini sebagai orang yang hina, orang yang tidak tahu adat, orang yang degil/bendal dan orang yang kasar serta rendah martabatnya.....Kamu diusir ke sebuah pulau yang terletak di atas gunung yang dikelilingi oleh air di tanah gersang yang tiada tumbuh-tumbuhan yang subur yang terpencil dari penglihatan manusia dan binatang....Barang ada keturunanmu hendaklah ia memulakan namanya dengan panggilan Si.....sebagai orang yang hina dari martabat yang rendah.....Tidak boleh di antara kamu memakai perhiasan dari logam kecuali daripada manik tandanya kamu dari keturunan orang yang terbuang....Tidak boleh kamu meninggalkan pulau tersebut selama tujuh keturunan kamu, jika ada yang kemudiannya mendirikan kampung di tanah besar nanti, hendaklah dikelilingi oleh rumpun bambu supaya jelas bahawa kamu adalah dari keturunan yang hina...."
Begitulah kira-kiranya sumpahan ke atas Siraja Batak dan keturunannya selama tujuh generasi. Mereka telah dipisahkan dari pandangan manusia dan binatang, selama tujuh keturunan kerana kesalahan menentang adat dan raja.

Oleh kerana Siraja Batak dibuang bersama seluruh anggota keluarga Datu Ompung Dolom yang merupakan ketua segala hamba maka itu kita dapati dari segi fizikal terdapat perbedaan yang sangat ketara antara Mandailing dan Batak.

Orang-orang Batak biasanya pendek-pendek, rambut kerinting dan kepalanya benjol ke belakang.
Orang Mandailing asli agak tinggi dan tegap, rambutnya ikal mayang, kulit putih kemerah-merahan atau putih kuning. Walaupun asal usul orang Batak itu dari Tanah Mandailing tapi kedudukan mereka sebenarnya adalah keturunan Datu Ompung Dolom yang merupakan kasta rendah yang menjadi hamba di Mandala Holing iaitu Pidoli kecuali Siraja Batak itu sahajalah elemen Mandailing yang asli.
Oleh yang demikian jelaslah Mandailing itu bukanlah BATAK walaupun BATAK itu asalnya dari Tanah Mandailing.

Siraja Batak itu keturunan ketujuh kepada Boru Deakparujar lalu dibuang dan disumpah untuk tujuh keturunan maka itu orang Batak sentiasa berpegang kepada angka tujuh sebagai angka sakti dan keramat sedangkan orang Mandailing menganggap angka sembilan sebagai angka raja.

SEKITAR BATAK DAN MANDAILING
Banyak telah diperkatakan oleh berbagai orang mengenai Batak dan Mandailing. Umpamanya Batak Mandailing. Batak itu terbahagi kepada lima kumpulan iaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Batak Pakpak.
Andaian seperti ini telah mengelirukan ramai orang. Ada pula mengatakan bahawa Mandailing itu asalnya dari Toba turun ke Mandailing.
Logiknya semua tamadun tidak pernah wujud dari gunung lalu turun ke lembah. Biasanya tamadun itu bermula dari kuala sungai dan naik ke lembah lalu ke gunung. Kawasan lembah adalah sumber bagi segala kehidupan sama ada di darat, di sungai ataupun dilaut.
Perhubungan juga adalah melalui muara sungai ke laut. Mereka yang mendiami dataran tinggi atau gunung adalah terdiri daripada orang yang kalah perang ataupun orang yang diusir dari masyarakat adat yang bertamadun.
Di abad ketigabelas hikayak Jawa ada mencatitkan mengenai serangan tentera Majapahit ke atas Lamuri dan Mandailing tetapi nama Batak tidak tercatit samasekali. Jelaslah bahawa Mandailing itu sudah jauh bertapak dan diketahui pada masa itu.
Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar masih dibacakan di dalam setiap upacara kecil atau besar orang-orang Batak. Di sana ia menyatakan bahawa jalan ke kayangan dan tempat temasya nenek moyang orang Batak adalah di Mandailing. Bukankah ertinya mereka mengakui bahawa asal usul mereka orang Batak datang dari Tanah Mandailing? Maka itu Mandailing itu lebih awal dan lebih dahulu ada sebelum adanya orang Batak. Bagaimana pula akhir ini Mandailing pula menjadi Batak?
Peranan orang Batak mulai tampil kehadapan apabila mereka memeluki agama Kristian di zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Oleh kerana mereka beragama Kristian sedangkan orang Mandailing majoritinya beragama Islam maka orang-orang Batak telah diberikan tempat istimewa dalam pentadbiran kerajaan Belanda di Indonesia. Lama kelamaan mereka menguasai sebahagian besar teraju pentadbiran lalu menjadi terkenal. Atas dasar tersebutlah maka kedudukan orang Batak menjadi kukuh dan dominan lalu suku kaum Mandailing yang satu ketika merupakan bangsa yang tamadun dan tinggi martabatnya tenggelam begitu sahaja.
Pengaruh Islam yang kuat di kalangan orang Mandailing juga telah melenyapkan sebahagian besar identiti budaya dan tulisan orang Mandailing. Akhirnya semua itu tidak lagi merupakan warisan yang penting kepada orang Mandailing, sedangkan di Toba semuanya dipertahankan.
Salasilah atau torombo Raja-Raja Mandailing sama ada dari Marga Nasution atau Lubis tidak satu pun menunjukkan bahawa mereka berasal dari Toba atau Karo sebaliknya mereka adalah masing-masing berasal dari Minangkabau dan Bugis.
Penggunaan perkataan SIRAJA BATAK, apabila pangkalnya ditambah dengan perkataan 'SI' ianya menunjukkan kedudukan dan martabat orang yang rendah. Dalam istilah purbakala jika seseorang itu dari keturunan bangsawan ianya menggunakan panggilan pangkalnya 'SANG' umpamanya Sang Sapurba, Sang Adika, Sang Nila Utama dan sebagainya.
Binatang-binatang yang gagah juga dipanggil Sang Harimau, Sang Buaya, Sang Purba/ Gajah tetapi kepada binatang yang kecil dan lemah dipanggil Sikatak, Sicicak, Sikera dan sebagainya.
Begitu juga keadaannya dengan manusia yang lemah dan tidak mempunyai darjat lalu dipanggil Siluncai, Siawang, Sikodok, Sibuyung dan sebagainya.
Perbedaan ini jelas sekali apabila marga-marga di Tanah Batak menggunakan pangkal perkataannya dengan istilah 'SI' iaitu Sinambela, Simanjuntak, Sinaga, Siotang, Siregar dan sebagainya.
Marga-marga di Tanah Mandailing tidak satu pun menggunakan istilah pangkalnya dengan perkataan 'SI' contohnya Nasution, Lubis, Rangkuty, Batubara, Parinduri dan sebagainya.
Walaupun berbagai tafsiran dapat kita kemukakan, namun satu perkara yang tidak dapat dinafikan ialah kawasan Toba adalah tanah gersang. Tidak akan ada manusia primitif yang sengaja ingin ke sana untuk membuka penempatan. Manusia lazimnya mencari tanah yang subur untuk bercucuk tanam kerana itulah sumber kehidupan masyarakat dahulu kala.
Sifat dan sikap orang Batak adalah kasar, tidak teratur dan tidak dapat mengawal perasaannya. Ciri-ciri perwatakan mereka ini menunjukkan bahawa mereka memanglah terdiri dari manusia yang kurang sopan. Maka itu di Mandailing apabila anak mereka jahat atau bandel secara spontan mereka akan mengeluarkan istilah "Bataknya kau ini"
Istilah tersebut telah digunakan berkurun-kurun lamanya hinggakan masyarakat Mandailing telah lupa sejarah istilah tersebut merujuk kepada Siraja Batak yang derhaka kepada raja dan tidak mahu mengikut peraturan adat pada zaman dahulu kala.
Dari nama Siraja Batak itulah seluruh keturunannya dan juga keturunan Datu Ompung Dolom yang merupakan ketua segala hamba ataupun hatoban dipanggil "BATAK" iaitu orang-orang Batak.
Perlu ditegaskan bahawa perkataan "BATAK" bukanlah bermaksud ianya satu bangsa, tetapi sebaliknya ia adalah satu istilah yang digunakan oleh oang Mandailing untuk menunjukkan sikap seseorang yang tidak tahu adat dan peraturan, orang kasar dan tidak terkawal sikapnya. Ini juga menunjukkan tentang status dan kedudukan orang yang dimaksudkan itu rendah martabatnya. Namun pada masa sekarang, lantaran pengaruh Belanda di zaman penjajah begitu kuat maka istilah Batak/ orang Batak yang kebanyakannya Kristian telah diangkat mendiami Sumatera Utara iaitu di Tapanuli.

KEBANGKITAN BATAK
Di abad ke tigabelas tentera Majapahit telah menyerang Mandailing iaitu Kerajaan Mandala Holing yang berpusat di Pidoli. Dengan itu hancurlah kerajaan Mandala Holing dan pengaruh agama Hindu di Tapanuli Selatan.
Saki baki orang-orang Munda telah lari bertempiaran ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mereka yang tertawan telah dibawa sebagai hamba abdi.
Di akhir abad ke tigabelas saki baki tentera Mandala Holing telah dapat berkumpul dan bergaul dengan masyarakat peribumi di sekitar Aek Batang Gadis lalu mereka telah mewujudkan marga Poeloengan yang kemudiannya berjaya mendirikan tiga bagas godang mereka di atas tiga puncak gunung. Namun begitu kerajaan tersebut hanya merupakan kerajaan kampung sahaja.
Orang-orang Batak yang terbuang di Pulau Simosir telah dapat membangunkan semula adat kepercayaan mereka yang bergaul antara kepercayaan Hindu dan aninisme serta penyembahan roh-roh nenek moyang mereka. Pusat mereka ialah di Busut Puhit.
Kedatangan misi Kristian ke Tanah Batak telah mengubah keadaan hidup masyarakat orang Batak yang tidak mempunyai kepercayaan teguh kepada mana-mana agama. Kebanyakan mereka telah memeluk agama Kristian.
Setelah mereka menganut agama Kristian pihak penjajah Belanda membawa mereka ke alam pembelajaran, penulisan dan pembacaan. Oleh kerana pihak Belanda memerlukan tenaga kerja sebagai perantaraan penjajah dengan masyarakat peribumi maka orang-orang Batak yang telah diKristiankan ini menjadi pilihan utama untuk menjalankan dasar pecah dan perintah tersebut.
Orang Batak secara tidak langsung telah mendapat tempat di dalam setiap bidang pentadbiran Belanda. Kedudukan ekonomi dan status sosial mereka mulai meningkat.
Orang-orang Mandailing yang telah memeluk agama Islam sewaktu gerakan tenteri paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol dan pengikutnya menjadi golongan fanatik agama. Mereka menentang apa sahaja pembaharuan yang dibawa oleh Belanda.
Memandangkan adat istiadat nenek moyang mereka banyak yang bertentangan dengan agama Islam maka orang-orang Mandailing telah membuang adat resam mereka yang telah diamalkan sejak dahulu. Lama kelamaan dari segi adat budaya, tulisan dan pertuturan orang Mandailing mulai kehilangan keutuhannya.
Berbeda dengan orang Batak walaupun mereka telah memeluk agama Kristian mereka tetap berpegang teguh kepada adat resam dan budaya mereka. Sehingga sekarang orang Batak masih dapat bertahan dan terus mempertahankan adat budaya dan tulisan mereka.
Kekuatan dan ketahanan adat resam, budaya hidup, kesenian, tulisan dan bahasa Batak ini telah ditonjolkan oleh mereka dari zaman ke zaman sehinggalah mereka bangkit sebagai satu suku bangsa yang kuat dan utuh.
Seperkara lagi orang-orang Batak telah berjaya menghidupkan kegemilangan warisan sejarah mereka dari semua sudut, sama ada sejarah anthropologi, arkiologi atau sejarah patriotismenya.Sisingamangaraja telah ditonjolkan sebagai salah seorang pahlawan kebangsaan dari keturunan Batak. Malangnya orang-orang Mandailing telah gagal berbuat sedemikian hingga kesan mereka ke atas masyarakat Indonesia langsung tidak mempunyai signifikan.
Satu lagi contoh yang nyata ialah Batak Toba mempunyai contoh rumah adat mereka yang lengkap dan teratur. Begitu juga dengan Batak Karo dan Batak Simalingun semuanya mempunyai rumah adat yang terpelihara keasliannya. Rumah orang Mandailing tidak mempunyai rumah adat yang boleh ditonjolkan sebagai senibina yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Tulisan-tulisan Batak atau askara Batak masih lagi ditampilkan kepada umum bahkan dijadikan bahan antik dan unik kepada para pelancong. Dengan cara begini orang Batak telah mengekalkan ciri-ciri budaya mereka. Danau Toba pula telah meletakkan orang-orang Batak di peta dunia kerana pelancong dari seluruh pelusuk dunia terus menerus berjunjung ke sana. Malangnya sumber semula jadi di Tanah Mandailing tidak pernah digunakan bagi memperkukuhkan warisan budaya masyarakat Mandailing.
Ulos Batak pada masa kini menjadi buah tangan kepada pelancong yang melawat ke tempat-tempat mereka. Anehnya kain Tenunan Patani yang merupakan pakaian orang Mandailing itu sendiri sudah tidak ada. Jika ada pun ianya dalam simpanan orang-orang tua yang kini keadaannya terlalu usang dan reput. Rombongan kesenian ataupun kumpulan muzik orang-orang Batak kelihatan menjelajahi ke seluruh dunia sama ada di Asia Tenggara, Eropah ataupun Amerika. Suara mereka dan petikan gitar mereka telah memikat jutaan penonton dan pendengarnya. Mereka menjadi duta tidak rasmi dalam memperkenalkan suku kaum Batak ke seluruh dunia.
Buku-buku mengenai sejarah orang-orang Batak tidak putus-putus dicetak dalam berbagai-bagai bahasa dengan memperbesar-besarkan asal usul mereka. Ada yang mencatitkan bahawa suku Batak ini sudah wujud tiga ribu tahun yang lalu dan sebagainya. Sejarah asal usul orang Mandailing belum pernah dibukukan secara ilmiah dan tidak pernah diterjemahkan kepada bahasa-bahasa lain. Justeru itu siapakah yang akan tahu tentang orang Mandailing?
Kebangkitan orang Batak selepas penjajahan Belanda sangat ketara dan teratur. Misi Kristian telah menonjolkan kedudukan mereka di dalam masyarakat Indonesia dan mayarakat antarabangsa sehinggakan nama Mandailing tenggelam dan menjadi serpihan kepada suku kaum Batak. Hari ini mereka memperkenalkan orang Mandailing sebagai BATAK MANDAILING pada hal pada suatu ketika dahulu oang Mandailing adalah satu bangsa berasal dari Munda.
Bukankah sebenarnya Batak itu asalnya dari Tanah Mandailing yang menjadi serpihan dibuang ke tanah gersang terpencil di pergunungan. Agak aneh nama mereka yang didahulukan dan nama Mandailing telah dtenggelamkan.
Sekiranya kita melawat ke Simosir, kita dapati orang-orang Batak begitu bersungguh-sungguh cuba menghidupkan semula nilai budaya dan kesenian mereka. Jelas kelihatan rumah-rumah mereka dihiasi dengan 3 warna: putih, merah dan hitam sebagai lambang warna adat yang keramat.
Warna-warna tersebut adalah mewakili tiga benua yang menjadi kepercayaan orang Batak. Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Ketiga-tiga benua ini pula dijaga oleh tiga dewa yang dikenali sebagai Manggala Bulan menjaga Banua Ginjang yang dilambangkan dengan warna putih. Dewa Soripoda mengawal Banua Tonga yang dilambangkan dengan warna merah. Betara Guru yang mengawal Banua Toru dilambangkan pula dengan warna hitam.
Dari segi ilmu perdatuan pula ketiga-tiga warna tersebut melambangkan darah putih, darah merah dan darah hitam yang terdapat di dalam tubuh badan kita.
Warna-warna putih, merah dan hitam kini menjadi warna adat dan keramat kepada orang Batak. Mereka juga percaya bahawa dunia ini dicipta oleh Mulajadi Na Bolon sebagai Dewata Raya yang maha berkuasa.
Dari sudut alat muzik orang Mandailing menggunakan Gordang Sembilan di dalam setiap upacara adat mereka. Orang-orang Batak pula menggunakan gendang tujuh atau gendang lima yang bersaiz kecil sahaja.
Bagi orang Batak angka tujuh dianggap sebagai angka sakti atau keramat yang mempunyai kuasa mistik. Segala sumpahan atau perdatuan, mereka menggunakan angka tujuh.
Orang Mandailing pula menganggap bahawa angka sembilan itu sebagai angka raja, angka terbesar dan yang hidup terus menerus. Angka tiga pula dianggap sebagai angka adat berdasarkan Dalian Na Tolu iaitu Mora, Kahanggi dan Anak Boru.
Orang Batak juga berpegang kepada adat budaya Dalian Na Tolu sepertimana orang Mandailing cuma tafsiran mereka sahaja yang berlainan mengenai erti Dalian Na Tolu tersebut. Bagi orang Batak Dalian Na Tolu itu ertinya tiga batu tungku yang digunakan untuk menanak nasi yang mana ianya saling bergantung antara satu sama lain. Pada dasarnya konsep Dalian NaTolu sama sahaja. Mereka mengasakan kepada Huta-Huta, Dongon Sabutuha dan Anak Boru.
Sama ada Mandailing atau Batak asas budaya Dalian Na Tolu itu adalah berpegang kepada peranan Mertua, Anak saudara dan Menantu. Ketiga-tiga elemen ini memerlukan antara satu sama lain bagi mewujudkan kesepakatan dan pergantungan sesuatu keluarga. Mereka percaya bahawa asas kebahagian dan kejayaan sesuatu keluarga tersebut adalah bergantung kuat atas kerjasama ketiga-tiga pihak tersebut.
Keluarga memainkan peranan utama di dalam pola kehidupan masyarakat Tapanuli sama ada Mandailing ataupun Batak. Mereka sangat membanggakan keluarga dan hidup berkeluargaan. Dalam hal nikah kahwin pula, biasanya dilakukan di antara sepupu mereka.
PENUTUP
Kesimpulannya asal usul orang-orang Batak adalah dari Tanah Mandailing berketurunan hamba dari Munda Holing. Hanya Siraja Batak sahaja dari keturunan bangsawan. Selainnya adalah dari keturunan Datu Ompung Dolom, Ketua segala hatoban.
Walaupun suku Batak ini dari Mandailing tetapi mereka adalah dari kasta yang rendah. Bentuk tubuh badannya agak kecil dan kepalanya kelihatan bebenjol di belakang berbeda dengan orang Mandailing yang lebih tinggi dan tegap, rambutnya ikal tidak kerinting halus seperti orang Batak asli.
Sifat orang Batak adalah kasar, tidak terkawal perasaannya.Suara mereka agak kuat. Dalam perbualan atau percakapan biasa pun nampak seolah-olah mereka sedang bertengkar.
Pembawaan mereka agak liar dan sentiasa suka bertengkar dan bergaduh mahupun sesama sendiri. Sikap seperti ini sangat jelas kelihatan di mana-mana juga mereka berada. Kelakuannya sembrono dan jarang sekali menghormati hak-hak orang lain.
Seperkara lagi orang Batak agak pengotor dan kurang berkemas kecuali mereka yang telah merantau ataupun telah maju di dalam kehidupannya.
Apa yang jelas ialah sifat dan sikap orang Batak itu tidak ada pada orang Mandailing. Kemungkinan besar ianya tertanam sejak dari nenek moyang mereka Datu Ompung Dolom ataupun disebabkan keadaan hidup yang tidak mengizinkan mereka berkelakuan lebih baik.
Walau bagaimanapun keadaan kini sudah banyak berubah. Mungkin alam sekelilingnya mempengaruhi perubahan itu atau kemajuan masyarakat setempat telah membawa perubahan tersebut. Namun begitu pada dasarnya sifat semula jadi ini masih juga dapat dikesan pada sesuatu masa tertentu.
Keaadaan masyarakat selepas merdeka telah banyak membawa pembaharuan Kehidupan dahulukala yang dibelenggu oleh adat mulai terhakis. Kahwin campur juga telah membawa banyak perubahan hidup dan cara hidup selain dari perpindahan penduduk dari satu tempat ke satu tempat lain serta pengaruh alam sekeliling. Pergaulan bebas di kota telah membawa pengertian hidup yang lebih luas bagi semua suku bangsa. Selain itu pelajaran telah dan pendidikan memainkan peranan penting mengubah sikap sesuatu suku bangsa itu.
Pada masa ini agak sukar untuk membedakan keaslian keturunan seseorang itu akibat percampuran hidup yang bebas di dalam negara merdeka ini.

Dipetik dari makalah Lembaga Adat mandailing Malaysia (LAMA) bertajuk:
ASAL USUL BATAK - Satu Ringkasan Legenda Asal Usul Keturunan Orang-Orang Batak Yang Tertumpu Di Pulau Simosir, Danau Toba